Hoax atau informasi bohong menjadi fenomena di Indonesia yang sengaja disamarkan agar terlihat benar, hal ini tidak luput dari karakteristik masyarakat Indonesia yang banyak menggunakan media sosial. Dengan demikian setiap harinya masyarakat menerima berita maupun informasi dengan cepat melalui perangkat media sosial. Pemerintah sudah seharusnya mulai serius untuk menangani penyebaran berita hoax seperti ini, Pemerintah indonesia membuat peraturan perundangan mengenai penyebaran kabar bohong yang sengaja disebarkan sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak yang dijatuhkan.Hingga saat ini pengguna aktif ponsel di Indonesia telah mencapai 281,9 juta masyarakat berserta SIM cardnya.
Dengan demikian, mereka bisa berbagi informasi dengan cepat. Media sosial dan aplikasi pengirim pesat cepat (chat apps) menjadi media favorit (Rudiantara Menteri Komunikasi dan Rudiantara, dikutip dari kompas.com). Sementara Guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Bandung, Deddy Mulyana, menyebut ada faktor utama yang menyebabkan informasi palsu (hoax) mudah tersebarnya di Indonesia. Faktor itu yakni karakter asli masyarakat
Indonesia yang dinilai tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat. Kondisi itu merupakan salah satu faktor mudahnya masyarakat menelan hoax yangdisebarkan secara sengaja. “Sejak dulu orang Indonesia suka berkumpul dan bercerita.Sayangnya, apa yang dibicarakan belum tentu benar. Sebab budaya kolektivisme ini tidak diiringi dengan kemampuan mengolah data,” kata Deddy melalui keterangan tertulisnya,
Rabu (8/2/2017). Menurut Deddy, kebanyakan masyarakat tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data. Di sisi lain, ia menyebut masyarakat lebih senang membahas aspek-aspek yang berkaitan dengankekerasan, sensualitas, drama, intrik dan misteri. “Politik adalah bidang yang memilikiaspek-aspek tersebut. Sehingga hoax sering sekali terjadi pada tema politik. Khususnya saat terjadi perebutan kekuasaan yang menjatuhkan lawan seperti pilkada, sebagai contoh Terjadi tren peningkatan hoax menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, namun tren tersebut akan menurun setelah Pilkada usai.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Atik Astrini (2017) dalam jurnal Transformasi no.32 tahun 2017 “hoax dan Banalitas Kejahatan” mengemukakan bahwapenyebaran hoax dimedia social dan media online tidaklah terjadi begitu saja tanpa kepentingan yang melatarbelakanginya. Ada kepentingan dibaliknya baik politik kekuasaan, ekonomi (industry dan bisnis hoax), ideologis, sentiment pribadi dan iseng. Selanjutya berdasarkan hasil riset yang dilakaukan Mastel (Masyratakat Telematika Indonesia), hasilnya menunjukkan isu politik dan SARA merupakan hal yang paling sering diangkat menjadi materi untuk konten hoax. Isu sensitif soal sosial, politik, lalu suku, agama, ras, dan antar golongan, dimanfaatkan para penyebar hoax untuk memengaruhi opini publik, sebanyak 91,8% responden mengaku paling sering menerima konten hoax tentang sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah dan pemerintahan. Tidak beda jauh dengan sosial politik, isu SARA berada di posisi kedua dengan angka 88,6%.
Bentuk konten hoax yang paling banyak diterima responden adalah teks sebanyak 62,1%, sementara sisanya dalam bentuk gambar sebanyak 37,5%, dan video 0,4%. Sebanyak 92,4 responden menyatakan mendapatkan konten hoax melalui media sosial, media sosial tersebut adalah Facebook, Twitter, Instagram, dan Path. Angka ini cukup jauh jika dibandingkan dengan situs web (34,9%), televisi (8,7%), media cetak (5%), email (3,1%), dan radio (1,2%). Hal ini disebabkan karena masyarakat menyukai
hal-hal yang menghebohkandan pada dasarnya sangat berbahaya, karena hal ini bisa menjadi perilaku. Pengguna media sosial bisa memproduksi hoax agar bisa menimbulkan kehebohan. Selanjutnya Kristiono, memaparkan pada dasarnya sudah banyak masyarakat penerima hoax yang tidak percaya begitu saja dan mengecek kebenarannya terlebih dahulu, namun sebagian di antaranya masih mengalami kesulitan dalam mencari referensi. (dikutip dari kumparan.com) Dan hingga saat informasi dari kepolisian menyatakan, Polisi sudah menerima sedikitnya 40 ribu laporan berita abal- abal alias hoax yang selama ini tersebar di media sosial.
Menurut laporan, sekitar 18 ribu di antaranya sudah direspon tim Cyber Crime Mabes Polri dan seribu di antaranya berhasil diproses secara hukum hal ini diungkapkan oleh Kabag Mitra Biro Penmas Mabes Polri Kombes Awi Setyono saat menghadiri pelantikan Ikatan Sarjanan Muda NU Jombang di GOR Pesantren Tambak Beras, Sabtu 25/03/17 (dikutip dari tribunews.com). Awi menjelaskan, dari jumlah tersebut berita bohong yang paling banyak disebar adalah kasus pornografi dan isu penculikan anak yang akhir-akhir ini cukup meresahkan masyarakat. “Terakhir marak terkait kasus hoax masalah penculikan, itu juga kita luruskan. Karena memang beberapa kasus fakta-fakta hukumnya memang bukti permulaannya enggak cukup, makanya kita sampaikan memang itu hoax. Seperti kasus di Trenggalek, Sumenep, Jawa Timur, ini memang betul faktanya hoax”.
0 Comments