Dikarenakan banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ‘mereka’ yang menamakan dirinya sebagai orang-orang yang memegang teguh ajaran agama, beberapa ahli mencoba menelisik hubungan agama dengan kekerasan.
Sebagian membenarkannya, namun lebih banyak yang mengecamnya. Ambil contoh Albert Camus, seorang tokoh filsafat kenamaan Prancis dan Sir Karl Popper dari Inggris, mengungkapkan bahwa meskipun pada dasarnya tujuan akhir dari hampir semua agama atau ideologi adalah meringankan kesengsaraan manusia, namun penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan mulia tersebut sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Tidaklah terlalu sulit untuk membuktikan adanya tindakan kekerasan dalam sejarah kehidupan keagamaan. Dalam Islam dapat ditarik kasus pembunuhan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dibunuh oleh kelompok Khawarij ekstremis yang membenarkan tindakan kekerasan dalam mengubah status quo. Meski sebelum menghembuskan nafas terakhir Sayyidina Ali berpesan untuk bersikap adil terhadap pelaku pembunuhan.
Dalam dunia Kristen pun tak kalah banyak tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap kaum sempalan yang berbeda pendapat. Gelombang Krusada (Perang Salib) yang pertama kali dikumandangkan oleh Sri Paus Urban II pada abad sebelas bukan saja melancarkan kekerasan terhadap umat Yahudi dan Islam (yang dianggap musuh), kelompok Kristen Ortodoks Timur juga ikut dilibas. semua ini dilakukan atas nama Isa a.s, Pecinta damai dan Penganjur kasih sayang.
Selanjutnya pembunuhan yang terjadi pada Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin. Pembunuhan ini dilakukan lagi-lagi dengan bernaung di bawah panji-panji agama. Sang pembunuh Rabin, Yigal Amir, mengakui dengan tegar pembunuhan ini dilakukan atas perintah agaman dan dengan bantuan Tuhan. “Ini merupakan tugas agama saya sesuai anjuran halakha (hukum agama Yahudi)”. Menyerahkan tanah yang telah dianugerahkan Tuhan merupakan dosa besar terhadap Yahweh (Tuhan), demikian pendapat yang diyakini pemuka agama Yahudi dan Yigal Amir.
Dalam suasana yang diliputi unsur kekerasan dalam dunia agama, tidak boleh tidak mata tertuju pada pemuka agama dari segenap kelompok. Merekalah yang harus tampil meredam dan meredakan naluri agresivitas pengikutnya. inilah yang diungkapkan oleh Janda mendiang Rabin ketika berkomentar tentang pembunuhan suaminya. Katanya “Fokus perhatian saya bukan pada pelaku pembunuhan, melainkan lebih kepada mereka yang mengobarkan semangat kekerasan dan kebencian dalam masyarakat kita.”
Di Indonesia, terus bermunculan aksi bom bunuh diri hingga pelaku bom panci. Aksi kekerasan pun tak hanya dilakukan secara diam-diam. Perempatan Sarinah, Jakarta, kembali menjadi tempat aki live teror bom bunuh diri yang menewaskan dirinya, aparat kepolisian dan warga sipil. Kejadian ini secara berurutan terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Jika dilihat dari kasus kekerasan yang terjadi, para ekstrimis ini pada umumnya didorong oleh keyakinan keagamaan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan perintah Tuhan yang tercantum dalam teks-teks suci. Richard Bonney dalam penelitiannya mengatakan bahwa motivasi para pelaku bom bunuh diri bisa disebabkan oleh riwayat hadis palsu yang digembor-gemborkan oleh para penceramah.
Hadis palsu seperti akan diganjar dengan puluhan bidadari ketika mati syahid adalah dalil yang bahkan Al-Quran pun tidak mengajarkannya, tutur Bonney. Mati syahid dapat dicapai dengan niat tulus berjuang dijalan Allah bukan atas landasan materialistis seperti mendapatkan kenikmatan seksual dari bidadari. Dalil-dalil tersebut di atas sering digunakan oleh para ahli cerita dan penceramah untuk mencari popularitas dengan cara memancing respon emosional dari para pendengar.
Jika mau merunut dalam sejarah Nabi, dapat dilihat bahwa pelbagai perang yang terjadi adalah semata-mata untuk mempertahankan diri dan melindungi hak kebebasan memeluk keyakinan. Bukankah kita sama-sama tahu bahwa prinsip Islam adalah perbanyaklah teman bukan lawan. Mustafa as-Siba'i berpendapat bahwa Islam selalu mengupayakan dan mengedepankan jalur diplomatis yang empatik dan simpatik dalam menghadapi kaum Quraisy dan munafikin.
Cukuplah kiranya kita mengakui dan menghayati bahwa perbedaan agama, budaya dan bahasa adalah bukti kekuasaan Tuhan pada hamba-Nya. Meyakini keyakinan yang dianut yang paling benar silahkan asal jangan menyalahkan yang berbeda keyakinan. Tidak ada agama yang memperkenankan pembunuhan atas nama Tuhan. Membunuh satu jiwa, sama saja membunuh seluruh umat manusia.
Khususon di Indonesia kita membutuhkan dan mengharapkan pemuka agama yang dapat mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat mengacu ke arah radikalisme dan kekerasan. Bukan yang malah menyorak-nyuarakan permusuhan dari berbagai kesempatan, mengajarkan generasi muda mudah mengucapkan kata kasar dari pada kata sopan. Mudah berucap Allahu Akbar tapi dengan saudara sendiri bersikap kasar. Biasanya pengikut mencontoh yang dianut.
Salam Damai.
Note: Disadur dari Buku Islam Inklusif karya Dr. Alwi Shihab dan Buku Ketika Nonmuslim Membaca Al-Quran karya Irwan Masduqi
from Mohammad Khoirul Amin https://ift.tt/2D1B32w
via
IFTTT
0 Comments